OKEJAMBI.COM – Bagian ketiga, syair ini menjadi bagian terakhir dari keseluruhan syair Karbala Berduka Karbala Beraksi karya Jalaludin Rakhmat. Di sini adalah akhir dari perjuangan Husein bin Ali yang digambarkan sebagai sosok pejuang yang suci.
Husein gemetar geram
Ketika Syimtr melengking seperti syetan:
“Hai anak Abu turab, sekiranya seluruh air di dunia ini
Berada dalam kekuasaanku, aku tidak akan
Memberikan setetespun
Kepada kalian sebelum kalian membai’at Yazid.”
Abbas menyeruak membelah pasukan
Anak – anak panah memburunya dari berbagai penjuru
Ia berhasil mencapai tepian sungai Furat
Ia sudah mencelupkan jemarinya ke air yang dingin
Tapi ia mencurahkannya kembali:
“Tidak layak aku minum air sejuk
Sedangkan kehausan mencekik saudaraku Husein.”
Abbas memenuhi kantong airnya
Dengan satu tekad: mempersembahkannya kepada Husein
Dari balik pohon korma musuh pengecut mematahkan kedua tangannya
Panah – panah beracun menghujani tubuhnya
Ia roboh dengan kantong air di antara gigi – giginya
Anak panah lain menyobekkan kantong airnya
Tongkat besi membelah kepalanya
Ia menangis bukan karena luka – luka parah di tubuhnya
Ia menangis karena gagal menghantarkan air untuk panutannya
Ruhnya yang suci terbang ke langit diantarkan seruan:
“Alaika minni salam Aba Abillah “
Wajah Husein mana lagi yang penuh darah puteranya
Ali Ashgar menggelepar di tangannya
Dengn anak panah yang menusuk lehernya
Apakah wajahnya yang jernih ketika anak panah menyobekkan mulutnya yang suci
Yang selalu menjadi tempat kecupan Nabi
Lalu, ia mengumpulkan tangannya ke langit
“Ya Allah, semua ini kecil di sisi – Mu.”
Ataukah wajahnya yang diterangi cahaya nubuwah
Basah dengan darah yang mengalir dari dahinya
Yang dilubangi anak panah lainnya
Yang mengangkat tangannya ke langit:
“Ya Allah, engkau tahu apa yang menimpaku
Dari hamba – hamba-Mu yang durhaka.”
Ataukah wajahnya yang merah
Ketika tubuhnya menjadi bulan – bulanan ribuan anak panah
Ia sobekkan pakaiannya untuk mengusap darah yang menutupnya matanya
Ia cabut anak panah dari kuduknya
Dan darah terbesit deras seperti pancuran
Tangannya yang mulia menyauknya
Ia lumuri seluruh wajah dan janggutnya
Wajah itu tetap juga menggumamkan zikir:
Bismillah, wa billah, wa’ala millati Rasulullah
Aku ingin menghadap Allah dan kakekku
Dengan tubuh yang bersimbah darah seperti ini
Bagaimana mungkin kugambarkan wajah Husein
Yang tersungkur jatuh mencium tanah
Pedang – pedang mencencangnya
Tombak – tombak menghujamnya
Anak – anak panah menghujaninya
Tapi bibir yang suci itu masih juga menggumamkan zikir:
Shabran ‘ala qadika, la ilaha siwak
Ya Ghiyatsal mustaghitsin
Ma li Rabbun siwa wa la ma’budun ghairuk
Shabran ‘ala hukmik, ya ghiyatsa man la ghiyatsalah
Masih mampukah aku melukiskan wajah Husein
Ketika seorang yang mengaku umat Muhammad
Menebus kepalanya yang sering di pelak Rasul
Wajah itu dihias dengan senyum surgawi
Dan masih juga menggumamkan kalimat – kalimat suci
Husein telah mempersembahkan ruhnya yang suci
Untuk menegakkan ajaran Al-Qur’an
Untuk membuktikan kepalsuan para ulama
Pendukung kekuasaan
Untuk mengembalikan agama Muhammadi yang asli
Yang telah ditegakkan oleh darah Ali
Untuk menghidupkan agama yang mengajarkan keberanian
Untuk menentang segala macam penindasan.***