Beberapa upaya negoisasi antara masyarakat dan perusahaan tidak pernah menemukan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Bahkan PT FPIL disebut kerap kali tidak menghadiri pertemuan penyelesaian konflik baik di tingkat desa maupun tingkat kabupaten.
Kini masyarakat Desa Sumberjaya terus beraktivitas di atas lahan seluas kurang lebih 340 hektar itu, yang masih mereka ingat batas batasnya dengan nama lokal seperti Buluran Pauh, Teras Beko, Buluran Lopak Bujuk, Pematang Cengal, Buluran Melintang, Tembesu Rampak, Simpur Serumpun, Buluran Rambio, dan sebagainya.
Sebagian lahan mereka kelola secara kolektif dan hasilnya untuk keperluan umum seperti biaya pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu, keperluan kegiatan keagamaan, bantuan untuk warga yang sakit, dan biaya organisasi sebagai alat perjuangan mereka.
Masyarakat Desa Sumberjaya berharap pemerintah dan pihak berwenang bisa menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi di wilayah mereka, sehingga aktivitas pertanian di lahan yang sudah mereka garap secara turun-temurun sejak tahun 1960 tersebut bisa berjalan lancar tanpa gangguan dari pihak perusahaan.***