Nota Keberatan Dipidana Karena Perjuangan

- 23 Juni 2023, 11:46 WIB
Bahusni baru saja keluar dari ruang sidang, ia langsung menemui massa aksi yang memberikan dukungan moril terhadapnya dari luar gedung Pengadilan Negeri Sengeti, Kabupaten Muarojambi pada Selasa, 20 Juni 2023. Kakak sepupunya tak kuasa menahan kesediahan dan langsung memeluk Bahusni.
Bahusni baru saja keluar dari ruang sidang, ia langsung menemui massa aksi yang memberikan dukungan moril terhadapnya dari luar gedung Pengadilan Negeri Sengeti, Kabupaten Muarojambi pada Selasa, 20 Juni 2023. Kakak sepupunya tak kuasa menahan kesediahan dan langsung memeluk Bahusni. /Oke Jambi/Hajrin Febrianto/

Oke Jambi - Berjalan satu setengah tahun sudah, sejak Bahusni dilaporkan oleh PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) ke Polda Jambi, ia dituduh melakukan penyerobotan lahan perusahaan. Sekarang kasus tersebut telah memasuki proses sidang kedua dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan dari pihak terdakwa di Pengadilan Negeri Sengeti pada Selasa, 20 Juni 2023.

Tidak seperti sidang sebelumnya saat agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 6 Juni 2023 lalu, kali ini Bahusni terlihat lebih tegar berjalan keluar dari ruang sidang. Didampingi kuasa hukum serta anggota Serikat Tani Kumpeh (STK) yang lain, Bahusni langsung menghampiri massa aksi yang sedari awal sidang memberikan dukungan moril dari depan gedung pengadilan.

Kehadiran Bahusni di tengah massa aksi yang didominasi oleh kaum perempuan itu pun sontak menimbulkan suasana haru. Namun, Bahusni tetap saja terlihat berdiri tegap melawan kesedihan, bahkan suaranya semakin lantang melakukan orasi.

Seorang perempuan yang terlihat sejak pertama hingga sidang kedua ini mengikuti aksi damai bebaskan Bahusni langsung meraih Bahusni dan memeluknya, isak tangis tak kuasa ia tahan. Kakak sepupu Bahusni tersebut mengekspresikan kekhawatiran dan ketakutannya, karena Bahusni didakwa melakukan tindak pidana.

Baca Juga: Bahusni Dituduh Mencuri di Lahan Sendiri

"Biarlah, Allah maha tahu, biarlah, Allah maha tahu," ucap Bahusni mengacungkan telunjuk ke atas, sebelum ia meminta massa aksi untuk membubarkan diri dan pulang dengan tertib.

Bahusni, Ketua Serikat Tani Kumpeh (STK) yang dideklarasikan pada tahun 2021 itu didakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 107 huruf a dan d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dirinya dituduh menggarap di lahan perusahaan.

Akan tetapi, dakwaan itu dinilai tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Sebab Bahusni ditunjuk oleh masyarakat Desa Sumberjaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muarojambi untuk memimpin perjuangan kaum tani merebut kembali hak atas tanahnya, serta menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat dan PT FPIL.

Atas dakwaan JPU terhadap Bahusni, maka dibacakan pula eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan. Ada 48 poin nota keberatan yang dibacakan oleh kuasa hukum Bahusni hari itu, yang pada intinya keberatan dengan dakwaan yang menyebutkan Bahusni telah melakukan tindak pidana, padahal perbuatan Bahusni dan masyarakat Desa Sumberjaya adalah menduduki kembali lahan desa yang diklaim oleh perusahaan, yang seharusnya persoalan tersebut masuk ke ranah perdata.

Baca Juga: Demi Hak Hidup yang Layak, Serikat Tani Kumpeh Tetap Berjuang

Selain itu terdakwa juga keberatan terkait pelapor dalam hal ini adalah PT FPIL, yang tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing di atas lahan yang dijadikan tempat kejadian perkara (TKP).

Awal Juni 2023 lalu, tim Oke Jambi turun ke lokasi dan melihat langsung situasi di lahan objek konflik antara masyarakat Desa Sumberjaya dan PT FPIL, didapatkan papan informasi yang berisikan nomor Hak Guna Usaha (HGU) PT FPIL. Namun ketika dicek di palikasi Sentuh Tanahku keluaran Badan Pertanahan Nasional, nomor tersebut tidak terdaftar bahkan beberapa nomor yang tercantum tidak memenuhi syarat jumlah angka untuk dimasukkan di aplikasi Sentuh Tanahku.

Kuasa hukum Bahusni, Riki Hermawan mengatakan, masyarakat bahkan kepala desa setempat tidak pernah dilibatkan di dalam proses perizinan perkebunan PT FPIL di Desa Sumberjaya. Jadi, masyarakat dan pemerintah desa tidak mengetahui adanya aktivitas perkebunan yang dilakukan PT FPIL di wilayah Desa Sumberjaya.

“Bahwa akibat tidak dilibatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan perkebunan, tanah yang diperuntukan untuk konsesi HGU PT FPIL itu dapat dipastikan tidak bebas dari sengketa ataupun tidak clean and clear, atau terbebas dari hak atas tanah lain di atasnya sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan sebagai prasyarat dapat diterbitkannya konsesi HGU perkebunan,” ujar Riki.

Kuasa hukum Bahusni (tengah) didampingi pengurus Serikat Tani Kumpeh usai menjalankan sidang di Pengadilan Negeri Sebgeti, Selasa, 20 Juni 2023.
Kuasa hukum Bahusni (tengah) didampingi pengurus Serikat Tani Kumpeh usai menjalankan sidang di Pengadilan Negeri Sebgeti, Selasa, 20 Juni 2023.

Baca Juga: Serikat Tani Kumpeh Butuh Jaminan Keamanan

Konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan di Desa Sumberjaya sudah terjadi sejak tahun 1998, di mana saat itu PT Purnama Tusau Putra diusir oleh masyarakat karena masuk ke wilayah mereka. Seiring berjalan waktu, ternyata PT Purnama Tusau terus menggarap di lahan Desa Sumberjaya yang dulunya itu adalah tempat masyarakat mencari ikan dan hasil alam lainnya.

Konflik antara masyarakat dan perusahaan masih terus terjadi dengan situasi kadang meningkat dan kadang menurun di daerah itu. Masyarakat baru mengetahui bahwa PT Purnama Tusau Putra sudah berganti nama menjadi PT FPIL pada tahun 2008, namun tidak tahu kapan digantikan dan bagaimana proses itu terjadi.

Singkat cerita, pada tahun 2020 masyarakat Desa Sumberjaya menduduki kembali lahan tersebut. Sejak itu pula berbagai intimidasi seakan tidak pernah henti dihadapi masyarakat, mulai dari hal mistik hingga dikirim preman bayaran. Bahkan laporan pidana terhadap Bahusni juga berindikasi sebagai upaya kriminalisasi terhadap petani yang memperjuangkan hak atas tanahnya.

“Upaya upaya jalur hukum seperti ini (melaporkan petani melakukan tindakan pidana, red) sudah sering dilakukan di beberapa wilayah konflik agraria di Indonesia. Biasanya bertujuan untuk menakut-nakuti masyakat yang berjuang menuntut hak atas tanah,” kata Riki Hermawan yang juga tergabung di dalam Organisasi Bantuan Hukum Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Baca Juga: Proses Hukum Berjalan, Kepala Desa Minta Perusahaan Tak Lagi Gunakan Cara Kekerasan Selesaikan Konflik

Beberapa upaya negoisasi antara masyarakat dan perusahaan tidak pernah menemukan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Bahkan PT FPIL disebut kerap kali tidak menghadiri pertemuan penyelesaian konflik baik di tingkat desa maupun tingkat kabupaten.

Kini masyarakat Desa Sumberjaya terus beraktivitas di atas lahan seluas kurang lebih 340 hektar itu, yang masih mereka ingat batas batasnya dengan nama lokal seperti Buluran Pauh, Teras Beko, Buluran Lopak Bujuk, Pematang Cengal, Buluran Melintang, Tembesu Rampak, Simpur Serumpun, Buluran Rambio, dan sebagainya.

Sebagian lahan mereka kelola secara kolektif dan hasilnya untuk keperluan umum seperti biaya pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu, keperluan kegiatan keagamaan, bantuan untuk warga yang sakit, dan biaya organisasi sebagai alat perjuangan mereka.

Masyarakat Desa Sumberjaya berharap pemerintah dan pihak berwenang bisa menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi di wilayah mereka, sehingga aktivitas pertanian di lahan yang sudah mereka garap secara turun-temurun sejak tahun 1960 tersebut bisa berjalan lancar tanpa gangguan dari pihak perusahaan.***

Editor: Hajrin Febrianto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah