Korban Terorisme Perlu Perhatian Serius dari Negara

- 27 Juli 2023, 22:09 WIB
Poto bersama peserta diskusi media yang digelar Perkumpulan Media Lintas Komunitas bersama Asosiasi Media Siber Indonesia di Jakarta, Rabu, 26 Juli 2023.
Poto bersama peserta diskusi media yang digelar Perkumpulan Media Lintas Komunitas bersama Asosiasi Media Siber Indonesia di Jakarta, Rabu, 26 Juli 2023. /Medialink/Leli Qomarulaeli

Oke Jambi - Terorisme selalu meninggalkan bekas luka mendalam pascakejadian bagi masyarakat yang terkena dampak, karena selalu menimbulkan akibat serius baik itu secara penderitaan fisik, pikologis, psikososial, ataupun harta benda yang diakibatkan oleh aksi kekerasan tersebut. Tidak hanya itu, aksi terorisme juga kerap menimbulkan situasi kondisi teror yang mencekam seluruh lapisan masyarakat.

Disampaikan Perkumpulan Media Lintas Komunitas (Medialink) kepada Oke Jambi melalui siaran pers, dampak yang meluas dan mendalam menyebabkan tindak terorisme tidak lagi dianggap masalah yang ringan (soft issues), tetapi sudah berubah menjadi masalah yang strategis (high politic) dan sebagai bagian dari kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) serta menjadi musuh umat manusia (hostes humanis generis).

Terkait dengan terorisme, sebenarnya sudah ada regulasi yang mengatur hal ini. Namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan masyarakat korban terorisme. Kendala lainnya dalam upaya pemulihan tindak terorisme adalah, kurangnya penanganan paska aksi terorisme menggunakan perspektif gender-based approach.

"Sampai saat ini, apa yang dijanjikan pemerintah seperti yang tertuang dalam peraturan, belum sepenuhnya terlaksana. Padahal kita benar-benar butuh perhatian itu," ujar Wakil Ketua Forum Komunikasi Aktivis Akhlakulkarimah Indonesia (FKAAI), Tony Soemarno, dalam diskusi media yang digelar Media Lintas Komunitas (Medialink) bersama Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Jakarta, Rabu, 26 Juli 2023.

Menurut Tony, yang juga korban tragedi Bom JW Mariot, sampai saat ini perhatian negara terhadap korban terorisme masih terkesan kurang serius dan bernada basa-basi.

"Program asuransi BPJS yang dijanjikan misalnya, hingga kini belum jelas. Kami pun tidak dapat mengakses sampai di mana perkembangan asuransi yang akan dibayarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)," sambung Tony.

Senada dengan Tony Soemarno, pakar terorisme yang juga staf pengajar Universitas Indonesia, Dr Zora A. Sukabdi, melihat masalah terorisme ini merupakan masalah global yang penanganannya tidak sederhana. Janji pemerintah terhadap korban terorisme misalnya, juga tidak segampang yang dirumuskan, terlebih jaminan pemerintah terhadap korban setelah kejadian.

Zora mencontohkan, untuk menyikapi rencana kepulangan para WNI eks TKI yang sebelumnya terpapar radikalisme di sejumlah negara terdapat perbedaan kebijakan di antara lembaga pemerintahan.

"Untuk TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri, perlu diberikan pembekalan, pemeriksaan fisik dan psikis oleh psikiater dan psikolog klinis, demikian juga bagi TKI yang akan kembali ke tanah air, terutama mereka maupun anak-anak yang terafiliasi dengan terorisme juga penting untuk diberikan pendalaman ideologi Pancasila sebelum diperbolehkan kembali ke daerah asal," ujarnya.

Menyikapi soal keseriusan negara dalam melindungi korban terorisme, peneliti Medialink, Leli Qomarulaeli memandang bahwa korban terorisme berhak mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah terkait upaya perlindungan korban.

"Ini merupakan hak mereka yang dilindungi perundang-undangan. Selain itu, keterbukaan pemerintah dalam memberikan akses informasi kepada korban justru akan menguatkan komitmen pemerintah dalam upaya itu," kata Leli Qomarulaeli.

Di sinilah, menurut Leli, pentingnya negara hadir dan melindungi korban korban tindak terorisme, baik korban terdampak langsung ataupun tidak langsung. Negara hadir tidak saja dari penguatan dasar hukumnya semata, namun juga memberikan perlindungan non litigasi lainnya, sehingga masyarakat menjadi aman.

Untuk mendorong keseriusan pemerintah  dalam merealisasikan janji janji mereka kepada korban terorisme, peran media massa pun dianggap sangat diperlukan. Selama ini, pemberitaan media terkait terorisme masih seputar jumlah korban dan belum berperspektif korban.

"Dari hasil media monitoring yang dilakukan oleh Medialink, ada kecenderungan pemberitaan oleh media jika ada kaitan dengan kekerasan, ada terorisme, ada persekusi, dan hanya memberitakan tentang angka korban, dan dalam kasus radikalisme pun ikut berperspektif pelaku, padahal kita ingin agar korban ini tidak hanya diposisikan sebagai obyek, tapi juga sebagai subyek," jelas Direktur Eksekutif Medialink, Ahmad Faisol.

Menanggapi hal tersebut, Ketua AMSI Jakarta, Erik Somba, mengimbau agar media yang tergabung dalam asosiasi ikut terlibat aktif serta mengulas isu terorisme dan isu isu strategis lainnya, tidak hanya sekedar menitikberatkan pada statistik.

"Soal terorisme, kami mengimbau semua teman teman asosiasi untuk tetap menjadikan isu ini sebagai sebuah isu, karena kita tidak melihat isu itu cuma sebagai statistik," jelas Erik Somba.

Pernyataan Erik Somba diperkuat oleh keterangan Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia, Adi Prasetya. Menurutnya, AMSI sangat concern terhadap soal soal pemberitaan tata laksana pengelolaan media.

"Kita terus berupaya untuk membangun media yang menyertakan pemberitaan terkait isu isu strategis yang tidak hanya mengejar traffic, tapi menomorduakan perspektif. Keduanya harus berjalan beriringan dan seirama," kata Adi Prasetya dalam acara tersebut.***

Editor: Hajrin Febrianto

Sumber: Siaran Pers Medialink


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x