Konflik Agraria Masuk Ranah Pidana, Sudah Tepatkah?

- 10 September 2023, 17:00 WIB
Seorang masyrakat Desa Sumberjaya duduk di mobil ambulans bertuliskan Serikat Tani Kumpe dan memegang poster tuntutan bebaskan Bahusni.
Seorang masyrakat Desa Sumberjaya duduk di mobil ambulans bertuliskan Serikat Tani Kumpe dan memegang poster tuntutan bebaskan Bahusni. /Oke Jambi/Hajrin Febrianto/

Butir ketiga di dalam surat itu menyatakan, “Jika sekiranya kasus yang objeknya berupa tanah, dimana status hukum kepemilikan tanah berdasarkan alasan hak yang dimiliki, jelas, kuat dan sah menurut ketentuan undang-undang, maka jika ada pihak yang melanggarnya, misalnya berupa penyerobotan tanah, makas kasus tersebut dapat dipidanakan. Namun sebaliknya jika sekiranya kasus yang objeknya berupa tanah yang belum jelas status hukum kepemilikannya, sehingga menjadi objek sengketa perdata, demikian juga sengketa sengketa dalam transaksi jual beli tanah di mana status hukum kepemilikan lahan telah dimiliki penjual, selanjutnya terjadi sengketa dalam transaksi jual beli tanah yang bersangkutan, maka kasus tersebut berada dalam ranah perdata dan merupakan perkara perdata murni sehingga tidak selayaknya dipaksakan untuk digiring masuk ke ranah pidum.”

Mengamati kasus Bahusni, yang dilaporkan oleh PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) pada 12 Desember 2021 lalu, dan dituduh menyuruh orang dan atau secara bersama-sama melakukan penguasan dan penggarapan di lahan perkebunan milik perusahaan, itu adalah laporan tindak pidana yang objeknya tanah.

Walaupun sebenarnya dari masyarakat, tidak ada yang menyatakan bahwa Bahusni adalah dalang di balik aktivitas pemanenan. Bahusni hanya orang yang ditunjuk masyarakat untuk mengetuai kelompok petani yang merasa telah direbut hak atas tanahnya oleh perusahaan.

Masyarakat Desa Sumberjaya menduduki lahan tersebut dua bulan sebelum Bahusni dilaporkan, karena dulunya itu adalah hutan dan rawa tempat mereka berkebun serta mencari hasil alam sejak tahun 1960. Namun pada tahun 1998, perusahaan bernama PT Purnama Tusau Putra masuk dan menanami kelapa sawit, yang kini dklaim PT FPIL sebagai lahan konsesinya.

Baca Juga: Demi Hak Hidup yang Layak, Serikat Tani Kumpeh Tetap Berjuang

Artinya, persoalan sengketa lahan antara masyarakat Desa Sumberjaya dengan perusahaan sudah terjadi sejak lama serta belum ada penyelesaian dan ketetapan hukum perdata maupun secara musyawarah. Jika merujuk pada Surat Edaran Kejaksaan Agung 22 Januari 2013, persoalan ini dianjurkan untuk tidak masuk ke ranah pidana.

Perkara pidana yang bermula dari persoalan konflik agraria antara masyarakat Desa Sumberjaya, Kecamatan Kumpe Ulu, Kabupaten Muarojambi dengan PT FPIL ini masih terus berjalan. Bahkan pada Rabu, 13 September 2023 nanti, dijadwalkan sidang untuk pemeriksaan saksi ahli yang diajukan oleh penuntut umum.

Baca Juga: Ketika Pasal Pidana Adalah Kriminalisasi bagi Petani

“Hemat saya ini bukan soal pidananya saja, tetapi bahwa ini adalah terkait konflik sengketa tanah, karena asal usul tanah tersebut, masyarakat, harus dijelaskan dulu kenapa perusahaan memiliki dan menduduki status perusahaan melalui HGU (Hak Guna Usaha, red), sebelumnya itu tanah apa. Nah, kalau berdasarkan keterangan saksi itu ada peta holtikultur, adanya peta tapal batas, ada keterangan surat surat dari pemerintahan daerah. Jadi menurut hemat saya itu sudah menguatkan, keterangan keterangan para saksi itu ya,” ujar kuasa hukum Bahusni, Yosep Nurhidayat kepada, Oke Jambi pada Sabtu, 9 September 2023.

“Hukum tidak semuanya materil. Hukum juga harus melihat dari sisi keadilan sosial. Bahwa pada lahan yang saat ini dikuasai Serikat Tani Kumpe saat ini adalah lahan mayarakat yang berhak mandapatkan jaminan kesejahteraan,” tambah Ahmad Azhari, lawyer (pengacara) dari Indonesian Human Right Comitte for Social Justice (IHCS) yang juga kuasa hukum Bahusni.***

Halaman:

Editor: Hajrin Febrianto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah