Ketika Pasal Pidana Adalah Kriminalisasi bagi Petani

- 25 Agustus 2023, 06:30 WIB
Suasana di luar ruang sidang Pengadilan Negeri Sengeti saat agenda sidang pemeriksaan saksi untuk perkara atas nama terdakwa Bahusni bin Hamzah pada Rabu, 23 Agustus 2023.
Suasana di luar ruang sidang Pengadilan Negeri Sengeti saat agenda sidang pemeriksaan saksi untuk perkara atas nama terdakwa Bahusni bin Hamzah pada Rabu, 23 Agustus 2023. /Oke Jambi/Hajrin Febrianto/

Oke Jambi - Sejumlah saksi dihadirkan dan dimintai keterangannya dalam persidangan untuk kasus pidana atas nama terdakwa Bahusni bin Hamzah, Ketua Serikat Tani Kumpeh (STK). Pemeriksaan para saksi berlangsung di ruang sidang Cakra, Pengadilan Negeri Sengeti pada Rabu, 23 Agustus 2023.

Agenda sidang tersebut menghadirkan enam saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Muarojambi, yakni empat orang warga dan dua orang perangkat Desa Sumberjaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muarojambi.

Bahusni, yang memang dari awal kasus ini menggunakan hak penangguhan penahanan, selalu menghandiri persidangan dengan didampingi kuasa hukumnya serta anggota STK dan masyarakat Desa Sumberjaya.

Baca Juga: Bahusni Dituduh Mencuri di Lahan Sendiri

Kuasa hukum Bahusni dari Organisasi Bantuan Hukum Konsorsium Pembaruan Agraria, Riki Hermawan menyebutkan, bahwa pada sidang selanjutnya masih dengan agenda pemeriksaan saksi dari JPU. Ada 32 daftar saksi yang diajukan JPU untuk kasus ini, sebagian sudah memberikan kesaksian di persidangan.

Sementara Bahusni, kepada Oke Jambi mengungkapkan, dirinya menyayangkan proses peradilan menghadirkan seorang saksi yang menurutnya sudah pikun. Di dalam persidangan, kata Bahusni, seorang saksi mengaku tidak pernah menandatangani berkas berita acara pemeriksaan (BAP).

Kali ini tidak membahas banyak soal bagaimana proses di pengadilan. Menjadi penting untuk sedikit dikupas, adalah bagaimana pasal pidana bisa menjerat Bahusni, padahal dirinya mendapat mandat untuk menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat Desa Sumberjaya dengan PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL).

Baca Juga: Nota Keberatan Dipidana Karena Perjuangan

Kasus Bahusni telah menambah daftar angka kriminalisasi terhadap petani dan pejuang hak atas tanah di Indonesia. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2022 saja, terdapat 80 orang petani dan pejuang hak atas tanah yang dikriminalisasi menggunakan pasal pidana.

KPA juga mencatat secara akumulatif, sejak kepemimpinan Jokowi sedikitnya 41 orang tewas di berbagai wilayah konflik agraria, 546 dianiaya, 51 orang tertembak, dan sebanyak 940 petani dan pejuang agraria dikriminalisasi.

“Sumber sumber agraria, utamanya tanah begitu fatal bagi hajat hidup rakyat kita, melihat kronisnya masalah agraria, dampak korban dan kekerasan yang diakibatkannya. Sayangnya, sampai saat ini hak atas tanah belum diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM),” ujar Kepala Departemen Kampanye KPA, Benni Wijaya, saat dikonfirmasi Oke Jambi pada Kamis, 24 Agustus 2023.

Baca Juga: Proses Hukum Berjalan, Kepala Desa Minta Perusahaan Tak Lagi Gunakan Cara Kekerasan Selesaikan Konflik

Benni mengungkapkan, undang-undang (UU) yang kerap digunakan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap petani serta aktivis agraria adalah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Kembali ke kasus Ketua Serikat Tani Kumpeh. Bahusni didakwa oleh JPU Kejaksaan Negeri Muarojambi telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur di dalam pasal 107 huruf a dan d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dirinya dituduh menggarap di lahan PT FPIL, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan ini, sejak akan disahkan menjadi undang-undang pun sudah menuai kontra dari beberapa pihak. Bahkan, dalam sidang lanjutan pengujian UU Perkebunan di Mahkamah Konstitusi pada 18 Mei 2016 lalu, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Brawijaya Malang, Achmad Sodiki, menyatakan Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan bertentangan dengan Konstitusi.

Baca Juga: Demi Hak Hidup yang Layak, Serikat Tani Kumpeh Tetap Berjuang

Dikutip dari website Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Menurut Sodiki, di masa silam, pemerintah Hindia Belanda telah mengatur dalam Ord van 7 Oct 1937) S.37-560 iwg 16 Oct 1937 yang intinya menyebutkan jika orang orang bumiputra yang tanpa hak memakai tanah milik negara atau swapraja di mana terdapat hak erfpacht (hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun yang dinamakan “pacht” [Pasal 720 KUHPerdata], red), maka segala hak dan kekuasaan dari pemegang erfpacht tersebut tidak dapat dikurangi sesuai dengan peraturan peraturan menurut hukum keperdataan. Sekalipun masyarakat hukum adat memakai tanah erfpacht, kalau tindakannya sesuai dengan hukum adat, maka mereka tidak bisa disalahkan.

Sumber lain, sebagaimana dikutip dari laman website TuK Indonesia, Ahli Masyarakat Hukum Adat dari Universitas Andalas, Kurnia Warman, berpendapat bahwa pasal pasal di dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 yang memuat ancaman pidana terkait dengan penguasaan tanah perkebunan yang berasal dari hak adat atau hak ulayat masyarakat hukum adat dapat dikategorikan sebagai kriminalisasi terhadap hubungan keperdataan. Menurutnya pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat sudah terang benderang baik di konstitusi, UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960) maupun dalam berbagai undang-undang lainnya.

Dari situ, maka bisa ditarik kesimpulannya bahwa persoalan konflik agraria tidak dapat diselesaikan dengan pasal pasal pidana. Hubungan keperdataan mestinya diselesaikan dengan cara cara musyawarah atau melalui jalur hukum perdata, yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.

Baca Juga: Kepalan Tangan untuk Konflik Tak Berujung

Walaupun belum diputuskan bersalah atau tidak oleh majelis hakim, faktanya perkara Bahusni tetap dilanjutkan melalui peradilan yang menggunakan pasal pidana UU Perkebunan. Bahkan, eksepsi Bahusni terhadap dakwaan pun tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengeti kala itu.

Kini, Bahusni didampingi kuasa hukum tetap berupaya untuk membuktikan di persidangan, bahwa apa yang terjadi sebenarnya di Desa Sumberjaya bukanlah tidakan pidana, melainkan upaya untuk mengakses kembali lahan mereka yang sudah dikelola secara turun-temurun sejak tahun 1960 tersebut dari penguasaan perusahaan.***

Editor: Hajrin Febrianto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah